Kamis, November 27, 2008

3rd: Tiga Bintang Yang Tak Bersinar Tentang Sebuah Dulu di Saat Ini

*Ada sebuah tempat yang dinamakan the sanctuary.
Tempat suci. Sakral. Sanktuari. Di tempat ini setiap jiwa seakan bisa melakukan apapun yang diinginkan. Bisa menginginkan untuk melakukan. Tak perlu takut akan salah keliru. Karena sebuah salah dan sebuah keliru hanya akan mentahbiskan kemanusiaanmu. Tempat yang dapat memberi ruang bagi pemikir sama baiknya seperti bagi pekerja. Dan tentu penuh tafsir yang berlebihan bila kau bayangkan yang tak terbayangkan. Karena apa yang sesungguhnya dimaksudkan memang adalah tempat-tempat biasa yang memang biasa dan hanya biasa bagi satu jiwa, tapi bak mahakarya agung bagi jiwa lainnya. Sanktuarimu bisa ada dimana saja, sanktuari kita bisa ada dimana saja. Di kamar mandi berjamur, di koridor dekat perpustakaan, di lapangan bola penuh batu, di ruang kuliah umum di sisi barat, di pelataran warung depan sekolah, di studio musik berbau apak, di teras sebuah mini market, di tempat penyewaan komik, di bar bercahaya redup, di laboratorium instruksional lantai tiga, di rumah makan berkursi empuk, di kamar kosanku, atau di ruang tamu rumahmu. Yang sebenarnya bisa membuat semua ruang di semesta sama rata hanyalah keberadaanmu yang menyungging senyum untukku, meski bahkan untuk menghinaku.

*Tahan hari ini di waktu ini di ruang ini!
Perkataan sia-sia yang jamak muncul pada senja kala. Disaat berakhir derita dan akan dimulai suka. Disaat akan diawali malam. Memang malam adalah berkat, bukan hanya karena pagi berlalu terlalu cepat. Tetapi juga karena malam penuh dengan jawaban. Akan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat dicari jawabannya kala siang. Pantas jika matahari menjadi terdakwa dalam pertikaian. Bahwa sengatnya menjilat kulit tulang kepala hingga isinya malas. Apa yang kini kau suka pikirkan dikala malam? Masih tentang dulu? Karena malam disini dan disana tak pernah sama.

*SEBUAH KERAGUAN LAMA YANG SAMA YANG MASIH BERULANG KALI MUNCUL.
DIWUJUDKAN DALAM LEMBARAN ELEKTRONIK OLEH SEORANG EKLEKTIK YANG NAIF. KOSAKATA YANG DISIAPKAN, YANG DISUSUN SEDEMIKIAN RUPA TELEDOR DAN CEROBOH HANYALAH ALAT BANTU YANG BERJASA DALAM MENYIMPAN, MENYAMARKAN, SEKALIGUS JUGA MENJELASKAN MAKNA DAN ARTI. DIGUNAKAN BAHASA YANG UNGGUL. UNGGUL KARENA DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MEMAKI KEBANYAKAN ORANG DARI NEGERI ASING TANPA BALAS TANGGAP DARINYA. TURUT DIHATURKAN TERIMA KASIH KEPADA SAUDARA SOEKARNO, SAUDARA HATTA, DKK, UNTUK USAHA KERASNYA DULU YANG TERNYATA KINI BERBUAH SEPAT BAGAI KEDONDONG. YANG TERNYATA MELAHIRKAN BANYAK PEMIMPIN TANPA HURUF "N". MARI HANYA BERMIMPI TERUS. TOH KITA TAK PERNAH MEMINTA DILAHIRKAN BEGINI. BENAR SEKALI, BODOH.

Sampai jumpa tuan dan puan, kita bersua di lain malam.

Kamis, November 13, 2008

2nd: Mereka Yang Acapkali Terlupa

Kemana perginya si Penggembala Sapi? Sudah lima hari lebih saya tidak melihatnya. Bukan maksud ingin tahu terlalu banyak, tetapi sore ini saya telah berniat untuk singgah ke rumahnya. Entah mengapa, hanya ingin saja. Atau mungkin saya sesungguhnya hanya merindukan aroma susu yang biasanya selalu saya minum dipagi hari, yang ia perah dari sapinya sendiri. Susu yang empat hari terakhir ini tidak saya rasakan kenikmatannya. Meski niat telah terlaksana, keingintahuan saya belum sirna karena ia tak ada di biliknya. Bilik bambu kumuh beralas tikar itu. Yang penuh debu, dan barang berserakan. Seperti ditinggalkan terburu-buru. Seperti terhenti di saat terakhir saya melihatnya. Lima hari yang lalu. Bahkan ketiga ekor sapinya berbaring dalam hening di pekarangan rumahnya. Dengan atau tanpa nyawa, saya tidak benar-benar memperhatikan.

Apa kira-kira penyebab si Pengamen Jalanan menghilang? Apakah percakapan terakhir kami pada akhir pekan lalu di warung kopi pinggir jalan itu tidak berkesan baginya? Saya telah berusaha memberi penjelasan secara seksama perihal kondisi kota ini. Saya jelaskan bagaimana kota ini memberi penilaian rendah pada dirinya. Dan bahwasanya ia hanyalah sebuah gangguan kecil yang memperriuh kota ini dengan nyanyiannya yang sumbang. Saya jelaskan betapa ilmu pengetahuan akan membantunya untuk bertahan hidup secara layak. Saya tawarkan ia ilmu pengetahuan, ia tawarkan saya ganja. Ia menolak, saya menerima.

"Saya masih tidak punya bayangan dimana saya akan menemukan si Penyemai Padi. Keabsenan mereka di ladang dan lumbung mereka selama berhari-hari ini memberikan rasa kuatir yang cukup besar pada saya. Hanya ialah yang dapat memberikan saya padi untuk ditanak, dengan imbalan sebungkus kecil kantung berisikan tiga ekor ikan tangkapan saya. Dan hanyalah si Penyemai Padi yang tahu cara yang tepat untuk melewatkan malam. Sebatang rokok kretek dan segelas kopi adalah hidangan wajib dikala saya mampir ke rumahnya untuk berbincang-bincang. Terkadang ditambah dua potong singkong yang dipanggang dengan arang."

"Pada suatu kala di suatu malam, perbincangan berlangsung dengan terkadang ditimpali gelak tawa saya dan si Penyemai Padi. Saya menyukai caranya memandang hidup sebagai suatu lahan. Dimana yang dituai adalah selalu apa yang ditanam. Suatu saat ia bercerita mengenai keinginan anaknya untuk bersekolah. Dia katakan pada anaknya sekolah hanyalah bagi orang bodoh yang tidak tahu cara bernyanyi dan berhitung. Dia katakan pada anaknya bahwa dia akan ajari anaknya bernyanyi, karena dimasa mudanya ia pernah tergabung dalam sebuah orkes dangdut keliling. Dan dia ajari anaknya berhitung, bahwa setengah ekor ikan panggang ditambah  dua piring nasi dibagi lima orang sama dengan kenyang. Saya tergelak, tertawa mendengarnya. Dia menangis."

Bisakah anda beri tahu saya dimana kini si Penjala Ikan berada? Ya, si Penjala Ikan yang itu, yang sering terlihat berbincang di malam hari bersama si Penyemai Padi. Terakhir kali, ia bercerita kepada saya mengenai percakapannya dengan sahabat karibnya tersebut. Dan kini, seakan tidak mau kalah olehnya, iapun ikut menghilang, tak jelas rimbanya. Yang tertinggal hanyalah sebuah perahu kecil bertuliskan "doa ibu" di dindingnya, tersandar di dermaga. Apakah kini warna kulitnya telah berubah, tidak sehitam dulu, karena tak lagi melaut. Apakah gemuruh ombak yang bergulung dan semilir angin di pantainya sudah terasa asing baginya. Sehingga mudah baginya untuk meninggalkan itu semua. Entahlah, yang pasti malam ini saya tidak jadi lagi makan fish n' chips.

Suatu ketika saya bertemu dengan si Penggembala Sapi. Suatu ketika saya bertemu dengan si Pengamen Jalanan. Suatu ketika saya bertemu dengan si Penyemai Padi. Suatu ketika saya bertemu dengan si Penjala Ikan. Di satu waktu yang sama. Saya tersenyum kepada mereka, sambil membayangkan semua hal yang akan kembali dengan keberadaan mereka. Mereka semua balas tersenyum kepada saya, sambil menunjuk ke arah sebuah rumah bertingkat dua dengan mercedes terparkir di halamannya. Rumah saya. Mereka semua tersenyum. Mereka semua meneteskan air mata. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Biarkanlah. Saya tinggalkan mereka semua diluar masuk ke dalam rumah. Saya sapa ibu saya yang sedang sibuk menonton tayangan di televisi layar datar yang mampu kami beli. Saya sapa ayah saya yang sedang sibuk menyemir tongkat golf Callaway-nya yang mampu ia beli. Saya naik menuju kamar, mencuci kaki, mengganti pakaian, kemudian tidur.

Saya tersentak, terbangun ditengah malam dengan badan bersimbah peluh karena panas yang membakar dan nafas tersengal karena kesulitan bernafas. Saya terkurung oleh api. Disekeliling saya penuh api. Saya diselimuti api. Kamar saya dipenuhi api. Seluruh rumah dilalap api.

Saya berteriak sekuatnya.

Saya terdiam, berpikir, teringat sesuatu.

Saya memaki sekuatnya.

Saya tidak sempat berprasangka sebelumnya, bahwa air mata yang telah menetes akan kembali dalam sebuah wujud yang berbeda. Dalam perwujudan api, yang mampu mengubah, dan menyamaratakan semua.

Menjadi abu.