Sabtu, Juli 11, 2009

7th: From Pondicherry to Toronto, and West Sumatra to Tanjung Pinang

Buku adalah gudang ilmu. Nenek saya adalah gudang ilmu. Dan kakek saya adalah gudang ilmu.

Hanya dengan berbaring sembari membaca buku, atau mendengarkan cerita nenek saya, atau menjelajahi kota kecil ini bersama kakek saya sambil mendengar petuahnya, masa liburan saya hingga saat ini tidak terasa terbuang percuma.

Yang kurang di pulau ini hanyalah Singgalang Jaya, Pizza Hut, dan lawan bermain PES 09.

Tiga buku terakhir yang saya baca ialah Dataran Tortilla (Tortilla Flat), Coraline (Graphic Novel), dan The Life of Pi.

Judul terakhir cukup berkesan bagi saya, merupakan pemenang Man Booker Prize di awal tahun 2000-an. Sudah cukup lama saya tertarik membelinya, tapi baru kesampaian tempo hari ini. Menceritakan seorang pemuda yang berasal dari Pondicherry, India bernama Piscine Molitor Patel yang terombang-ambing di samudra pasifik dalam sebuah sekoci penyelamat selama 227 hari. Bersama seekor harimau bengala yang bernama Richard Parker. Kapal yang mengangkutnya dan keluarganya menuju Toronto, Kanada, karam di tengah jalan. Karakter Pi terbilang unik karena ia menganut tiga agama, Hindu, Kristen katolik, dan Islam. Surga baginya ibarat sebuah negara yang akan menerima semua orang untuk kedalamnya asalkan punya paspor, tidak peduli dari negara mana paspornya.


Sebuah gerimis di sore hari bagi hati dan otak.

Selanjutnya, saya ingin bercerita tentang nenek saya. Saya memanggilnya Oma.

Sebuah pedang yang tajam pernah terhunus ke leher Oma saat Ia masih kecil. Seorang prajurit jepang yang melakukannya. Oma dituduh mencuri beras saat sedang bertugas memindahkannya ke lumbung. Entah berapa banyak. Tapi Ia selamat. Tentu saja tidak benar Ia mencurinya.

Di Kota Gadang, Sumatra Barat, tanah kelahirannya, Ia sedikit mengecap gaya hidup ala Belanda. Ia selalu bersemangat menceritakan hobinya berdansa ballroom, dan saling sapa-menyapa dengan rekan sejawatnya menggunakan bahasa belanda. Hobinya berdansa terhenti setelah menikah karena dilarang oleh suaminya. Dosa, katanya.

Oma merantau ke Tanjung Pinang sekitar tahun 1955. Saat ayahnya meninggal, Ialah tumpuan hidup bagi ibu dan kedua adiknya. Ia pernah menjadi seorang pemain sandiwara radio, sepanjang 120 episode. Bayarannya sekitar $5 singapura per episode. Dan Sebungkus nasi. Ia pernah mengikuti sebuah perlombaan bagi gadis dengan rambut terpanjang. Dahulu, rambutnya mencapai mata kaki. Saya selalu tertawa mendengar ceritanya ini. Saya lupa apakah ia menang atau tidak. Menang, kalau tidak salah ingat.

Oma dan Datuk menikah pada 15 Februari 1959. Pada masa itu mereka belum mengenal hari valentine. Kalau sudah, mungkin pernikahan mereka akan dimajukan sehari.

Dengan pendidikan seadanya ia sempat menjadi seorang kepala keuangan di pemerintahan daerah. Ia mengepalai bagian keuangan saat pembangunan jalan pertama di Pulau Bintan, pulau dimana Tanjung Pinang berada. Ia pensiun dengan status IIId, dengan skala Ia sampai VIa , kemudian lanjut ke Ib, IIb, dan seterusnya hingga mencapai VId.

Setelah berhasil membeli rumah, Ia membeli sebuah losmen 8 kamar seharga tujuh juta rupiah. Satu juta rupiah didapatnya dengan meminjam uang tanpa jaminan dari Si Panjang Pendek. Panjang Pendek adalah seorang cina yang pernah menjadi tetangganya di Kampung Jawa. Panjang Pendek baik padanya sudi meminjamkan uang, padahal saat itu Ia sedang membangun sebuah tempat pembakaran mayat di Batu Sembilan. Beliau sedemikian baiknya karena Oma seringkali membantu Panjang Pendek mengikat plastik minuman segar yang Panjang Pendek jual.

Saat itu hotel di kota ini baru ada tiga. Losmen ini salah satunya. Dahulu, saat baru dibeli, Oma dan Nenek Onde-Onde, almarhumah, ibunya, harus menjahit sendiri kasur-kasur dan bantal-bantal yang dibutuhkan karena kasur dan bantal yang ada sudah menghitam. Kini, Alhamdulillah, pemasukan losmen itu berada di kisaran dua hingga tiga juta rupiah sehari.

Di sela kesibukannya mengurus hotel kecil ini, Ia mendapat tawaran peminjaman uang untuk membeli tanah di depan losmen dan kemudian membangun hotel tiga tingkat. Tawaran tersebut berasal dari seorang kepala bank, paman dari Didi, anak buah Datuk. Tawaran tersebut bernilai seratus dua puluh lima juta rupiah, dan lagi-lagi tanpa perlu sesuatu untuk dijaminkan. Ia menerimanya, dengan konsekuensi pensiun dini dari pekerjaannya sebagai kepala keuangan. Hotel itu masih ada hingga kini. Tempat dimana saya ber-hotspot saat ini.

Pesan Beliau pada saya: "Jangan lupa Shalat lima waktu".

Saya ingin menceritakan kisah Datuk, kakek saya.

Ia berasal dari Payakumbuh, Sumatra Barat. Berawal sebagai seorang kuli pelabuhan. Kemudian bekerja di lapangan terbang. Salah satu orang yang membuka penerbangan keluar masuk tanjung pinang dan batam. Naik Haji hingga keliling eropa bersama Oma. Kini memiliki tanah di berbagai tempat, pantai, rumah, ruko, dan gudang dalam jumlah yang amat patut disyukuri. Apalagi yang perlu saya tambahkan?

Pesan beliau pada saya: "Manjakan dirimu saat muda, dan kau akan berakhir susah. Atau bersusah disaat muda, dan kau akan bisa bermanja-manja disaat tua. Dan jangan lupa Shalat".


(Pantai Trikora, Pulau Bintan)

Mereka berdua masih hidup bersama hingga saat ini. Hidup mereka sederhana saja. Saya amat sangat menyayangi mereka, akan selalu mendoakan mereka, mengingat pesan mereka, dan berharap bisa belajar untuk hidup seperti mereka.

Tentu sudah banyak beredar kisah hidup sukses dari berbagai tokoh-tokoh masyarakat yang bahkan jauh lebih fantastis daripada kisah Oma dan Datuk. Tetapi menurut saya selama gratis, tidak ada salahnya berbagi sedikit cerita ini kepada teman, bukan?